Kamis, 03 Desember 2009

MAKALAH SPI KASUS ADABIYAH

BAB I

PENDAHULUAN

Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dimulai dengan tahap yang sangat sederhana dan bersifat lokal. Pendidikan dilaksanakan di lembaga-lembaga tradisional seperti surau di Sumatra Barat, Meunasah di aceh, Langgar dan Rajug di Pulai Jawa. Setelah itu muncullah lembaga pendidikan pesantren yang ditandai dengan adanya pondokkan, masjid, kitab kuning, kyai dan santri. Bahan pelajaran sudah menggunkan kitab-kitab kuning dengan menggunakan metode sorogan, dan wetonan dengan kiai sebagai pemegang otoritas tunggal. Tidak ada batas waktu keluar masuknya, tidak ada, kurikulum secar tertulis, tidak ada standar kelulusan dan diselenggarakan tanpa menggunakan sarana seperti kursi, meja, papan tulis dan sebagainya. Pengajaran bercorak tradisional, tanpa mempertanyakan apakah yang diajarkan tersebut sesuai dengan perkembangan zaman atau tidak.

Syaikh Abdullah Ahmad, tokoh pembaru pendidikan Islam dari Sumatra Barat adalah pioneer dan pelopor yang pertama kali memperkenalkan sistem madrasah yaitu model pendidikan agama yang menggunakan kelas yang dilengkapi bangku, meja, papan tulis, kurikulum yang terstandar, ijazah, dan visi lulusannnya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Lulusannya selain menguasai ilmu agama Islam, juga menguasai ilmu pengetahuan umum, keterampilan, mampu berbahasa asing, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris. Melalui madrasah yang dipimpinnya, umat Islam Indonesia memiliki kesadaran tentang perlunya membangun Dunia Islam yang lebih maju dan menjanjikan.[1]

BAB II

MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (KASUS ADABIYAH)

A. Latar Belakang Pembaharuan (Modernisasi) Pendidikan Islam Di Indonesia

Timbulnya pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia baik dalam bidang agama, sosial, dan pendidikan diawali dan dilatar belakangi oleh pembaharuan pemikiran Islam yang timbul dibelahan dunia Islam lainnya, terutama diawali oleh pemikiran Islam yang timbul di Mesir, Turki dan India. Latar belakang pembaruan yang timbul di Mesir dimulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir.[2]

Napoleon datang ke Mesir membawa pasukan yang terdiri dari ilmuan-ilmuan yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan. Lalu Napoleon mendirikan sebuah lembaga ilmiah di Mesir dengan nama Institute D’egipt. Dari peristiwa tersebut, masyarakat Mesir menyadari bahwa mereka telah jauh tertinggal dari Eropa. Dari sana kemudian timbul kesadaran umat Islam untuk mengubah diri.

Kesadaran mengubah diri itulah yang menimbulkan fase pembaruan dalam periodisasi sejarah Islam. Fase pembaruan itu muncul sebagai sahutan terhadap tuntutan zaman dan sekaligus juga sebagai respon umat Islam atas ketertinggalan mereka ketika itu dalam bidang ilmu pengetahuan. Muncullah di dunia Islam tokoh-tokoh yang berteriak agar umat Islam mengubah diri guna menuju kemajuan, meninggalkan pola-pola lama menuju pola baru yang berorientasi kepada kemajuan zaman.

Lalu muncullah nama-nama Muhammad Ali Pasha, Sultan Mahmud II, Said Ahmad Khan. Gaung kemajuan dan gema pembaharuan itu sampai juga ke Indonesia. Di awal abad 20 muncullah beberapa tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Para pembaharu itu banyak bergerak dibidang sosial, pendidikan dan politik. Diantaranya Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Taher Jalaludin, Haji Karim Abdullah, Syekh Ibrahim Musa, H. Abdullah Ahmad, yang kesemuanya berasal dari Minangkabau.

Seperti yang kita ketahui, pembaharuan Islam di latar belakangi oleh dua faktor, yaitu:[1]

Pertama pembaruan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh para tokoh atau para ulama yang pulang ke tanah air setelah beberapa lama tinggal diluar negri (Mekkah, Madinah, Kairo). Ide-ide yang mereka peroleh diperantauan itu menjadi wacana pembaruan setelah mereka kembali ke tanah air.

Syekh Taher Djalaludin, adalah salah seorang diantara pelajar Indonesia yang bermukim di Mekkah untuk menuntut ilmu. Sekembalinya beliau dari Mekkah pada tahun 1900 beliau mendirikan sekolah di Singapura dengan nama al-Iqbal al Islamiyah. Beliau adalah orang yang dihormati dan dijunjung oleh H. Abdullah Ahmad yang kemudian mendirikan Adabiyah School di Indonesia pada tahun 1909 setelah beliau mengunjungi sekolah Al Iqbal di Singapura.

Kedua, faktor yang bersumber dari kondisi tanah air juga banyak mempengaruhi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Kondisi tranah air Indonesia pada awal abad kedua puluh adalah dikuasai oleh kaum penjajah Barat. Dalam bidang pendidikan pemerintahan kolonial Belanda melakukan kebijakan pendidikan diskriminatif. Lembaga pendidikan dikala itu ditanah air dibagi menjadi tiga strata. Strata pertama adalah strata tertinggi yaitu sekolah untuk anak-anak Belanda ELS, HBS dan seterusnya ke perguruan tinggi. Strata kedua adalah untuk anak-anak bumi putra yang orangtuanya memiliki kemampuan ekonomi dan mempunyai posisi di pemerintahan. Sekolahnya dinamakan, HIS, MULO, AMS dan seterusnya sampai keperguruan tinggi. Strata terendah adalah sekolah untuk anak-anak bumiputera yaitu sekolah Desa (3 Tahun) atau sekolah Kelas Dua (5tahun).[2]

Sementara itu kalangan umat Islam memiliki lembaga pendidikan pesantren, rangkang, dayah dan surau. Dengan menekankan mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Pendidikan pesantren ini sangat berbeda sekali sistemnya dengan sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Melihat kondisi yang demikian itu, maka sebagian tokoh-tokoh umat Islam berupaya untuk melaksanakan pembaruan dalam bidang pendidikan.

B. Pembaruan (Modernisasi) Dan Kebangkitan Pendidikan Islam di Indonesia

Masuknya ide-ide pembaruan ke Indonesia sangat besar pengaruhnya bagi terealisainya pembaruan pendidikan.

Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia di mulai dengan munculnya sekolah Adabiyah. Sekolah ini adalah setara dengan sekolah HIS yang didalamnya agama dan al-qur’an diajarkan secara wajib. Dalam tahun 1915, sekolah ini menerima subsidi dari pemerinatah dan mengganti namanya menjadi Hollandsch Maeische School Adabiyah (Noer, 1980:50)[3]

Menurut Mahmud Yunus sekolah Adabiyah ini adalah sekolah agama yang pertama memakai sistem klasikal, berbeda dengan pendidikan di surau-surau yang tidak berkelas-kelas, tidak memakai bangku, meja, papan tulis , hanya duduk bersila saja. Dan juga sekolah madrsah pertama di minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia. Adabiyah ini berperan sebagi madrasah sampai dengan tahun 1914. dan kemudian tahun 1915 telah berubah menjadi HIS.[4]

C. Adabiyah School Sebagai Salah Satu Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Pembaruan

Madrasah Adabiyah—biasa digunakan istilah Sekolah Adabiyah atau Adabiyah Schoolsering dijadikan rujukan oleh para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia sebagai madrasah yang tumbuh pada masa awal pembaruan. Tokoh pendirinya adalah Saikh Abdullah Ahmad. Beliau adalah seorang pelopor pembaruan wilayah Minangkabau, yang sejak masa muda sudah terlibat dalam berbagai kegiatan pengajaran. Pada awalnya, dengan pengalaman pendidikan di surau-surau dan terakhir di Mekkah selama kurang lebih lima tahun, ia membantu ayahnya yang seorang ulama dalam program pengajian di suaru Padang Panjang.[5]

Sekitar tahun 1906 Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan pamannya yang baru meninggal sebagai guru. Di kota ini ia mengadakan tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan untuk membahas masalah-masalah agama serta mendirikan perkumpulan Adabiyah beberapa tahun kemudian. Perkumpulan ini bermula dari sekelompok murid-muridnya yang berjumlah delapan orang yang secara terus menerus melakukan pertemuan. Selain itu, ia juga memberikan pelajaran kepada kira-kira 300 orang penduduk, dan sebagian dari mereka terdiri dari orang dewasa.[6]

Pada tahap selanjutnya Abdullah Ahmad mengganti sistem pengajaran tradisionalnya itu dengan sistem sekolah agama (madrasah) yang diberi nama Adabiyah School. Penamaan ini mungkin sekali dimaksudkan sebagai symbol kebangkitan ilmu pengetahuan dalam posisinya sebagai pilar uatama kebangkitan peradaban Islam, dan mungkin pula di ilhami oleh hadits nabi Muhammad saw. Yang diriwayatkan Al-Asykari. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi: Adabany rabbiy fa ahsana ta’dibiy (Tuhanku telah mendidikku, maka perbaikilah pendidikanku)[7]

Madrasah adabiyah baru didirikan Abdullah Ahmad tahun 1907—berarti sekitar delapan tahun setelah kembali dari Mekkah. Inisiatif pendirian madrasah itu mungkin sudah tertanam sejak lama ketika ia mulai terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran kaum Pembaharuan Timur Tengah seperti Muhammad Abduh. Namun demikian secara praktis mulai tergerak untuk mendirikan madrasah itu setelah mengadakan kontak intensif dengan koleganya di Singapura, Tahir Djalaluddin. Bahkan pada tahun 1906, ia sengaja mengunjungi langsung temannya itu untuk tujuan utama mendirikan madrasah. Tahir Djalaluddin sendiri memang termasuk kaum pembaharu yang sudah merencanakan mendirikan madrasah moderen di Singapura –rencananya itu sudah dipublikasikan di majalah al-imam terbitan Singapura yang juga beredar di Padang dan Abdullah Ahmad selalu membacanya. Disamping kontak dengan Tahir Djalaluddin, keinginan kuat Abdullah Ahmad untuk mendirikan madrasah Adabiyah juga tumbuh karena melihat tertib dan baiknya sekolah gubernemen di Padang.[8]

Pada awalnya madrsah Adabiyah didirikan di Padang Panjang kampung halamannya. Sistem pendidikan madrasah ini sangat berbeda dari cara pendidikan di surau. Secara konsisten, Abdullah Ahmad menyelenggarakan madrasah itu dengan mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ditambah dengan pelajaran membaca dan menulis latin serta ilmu hitung. Jika dalam pendidikan di surau tidak dilakukan secara perkelas, maka dalam rencana pendidikan di madrasah Adabiyah diatur berdasarkan berdasarkan kelas. Dalam rencananya yang ideal, madrasah Adabiyah diharapkan menjadi semacam sekolah guberdemen Islam yang membawakan watak pembaruan dengan misi pembebasan umat dari sikap taklid.[9]

Belum berjalan satu tahun, Madrasah Adabiyah itu gagal berkembang, baik karena alasan situasi sekitarnya maupuan karena alasan kondisi Abdullah Ahmad sendiri. Sejak masa awal pendiriannya, madrasah itu mendapat tantangan dari masyarakat Padang Panjang yang kebanyakan tidak menyukai polanya. Kalau tidak karena kegigihannya, Madrasah Adabiyah ini sebenarnya tidak akan bisa berdiri lagi karena hampir tidak mendapatkan murid mengingat diwilayah itu masyarakat masih terpaku dengan sistem surau. Mungkin karena caranya yang terlalu drasrtis, ia tidak memperoleh dukungan penuh dari ulama dan masyarakat. Di samping itu dari segi usaha perekonomian, Abdullah Ahmad adalah seorang pedagang kain dan lokasi madrasah itu bagaimanapun sangat kurang menguntungkan bagi bisnisnya. Fasilitas yang tersedia di daerah itu juga agakanya tidak cukup memadai untuk menunjang cita-citanya yang lebih jauh dalam penerbitan surat kabar.[10]

Tidak patah semangat, Abdullah Ahmad memindahkan madrasah itu ke Padang, dikota ini ia Abdullah Ahmad pada tahun 1914 mempelopori berdirinya “Syarikat Oesaha” karena ia berpandangan bahwa untuk mencapai kemajuan ekonomi dan pendidikan, perlu sebuah organisasi.[11] Sehingga dengan mudah, dalam waktu singkat ia sudah memiliki pelanggan-pelanggan usaha penjualan kainnya. Tidak seperti di Padang Panjang, di Padang madrasah itu mendapatkan sambutan bagus dari para pedagang meskipun tetap mendapat tantangan dari kalangan ulama dan masyarakat awam. Perkembangan madrasah ini di Padang mencapai kemajuan yang cukup berarti antara lain karena kurikulumnya lebih menekankan pada mata pelajaran umum yang hamper menyerupai HIS. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di madrasah itu, ia melibatkan empat guru berbahasa Belanda. Beberapa guru darikalangan pribumi dipersyaratkan memiliki ijazah pengajaran di tingkat HIS.[12]

Mata pelajaran agama di madrasah ini hanya diberikkan dua kali satu minggu, selebihnya untuk mata pelajaran umum dan ketrampilan membaca, menulis dan berhitung. Karena kualitas pendidikan dan kurikulumnya pengajarannya, madrasah ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda pada tahun 1915. peristiwa ini berarti, bahwa madrasah ini merupakan sekolah pertama setingkat HIS yang didirikan oleh kalangan Islam Minangkabau, dan bahkan mungkin juga pertama di Indonesia. Mahmud Yunus menyebut madrasah ini dengan HIS Adabiyah. Namun demikian, berbeda dengan HIS yang terbatas bagi kalangan bangsawan dan pegawai, Madrasah Adabiyah terbuka untuk umum sejauh dapat membayar uang pendidikan yang tidak begitu mahal. Oleh karena itu, kalangan pedagang sangat suka dengan madrasah ini sehingga mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah disana.[13]

Memperhatikan kurikulumnya, Madrasah Adabiyah memang lebih menyerupai sekolah Belanda. Pendirinya, Abdulllah Ahmad, agaknya sangat terpengaruh dengan sistem itu sehingga dipandang terlalu cepat dalam mengubah sistem pendidikan Islam. Disamping mendirikan madrasah, Abdullah Ahmad sebetulnya juga menyelenggarakan pengajian-pengajian mingguan, tetapi karena kasus madrasah itu, ia tidak mendapatkan perhatian khalayak kecuali dari kalangan muda. Dilaporkan bahwa ketika beliau meninggal pada tahun 1934, temannya H. Abdul Karim Amrullah, memberi komentar: ”Syukur Ia lekas mati, sehingga riwayatnya yang indah berseri dapat terpelihara”. Namun demikian, murid Abdullah Ahmad, pendiri pondok pesantren moderen Gontor__KH.Zarkasyi, belakangan memberi komentar ”Abdullah Ahmad bukanlah seorang modernisator tetapi Hollandisator.”[14]

Sepeninggal Abdullah Ahmad, gagasan dan usaha Pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau tidak berhenti. Kebanyakan penulis memang tidak menjelaskan bagaimana kelanjutan madrasah Adabiyah itu, tetapi pada umumnya menunjukkan tokoh-tokoh lain yang juga mengembangkan madrasah namun dengan pola yang tidak terlalu mirip dengan sekolah ala Belanda. Bentuk madrasah yang terakhir ini agaknya lebih memperoleh sambutan dari masyarakat luas, sehingga jumlah madrasah bertambah sampai ke desa-desa di wilayah Minangkabau. Mungkin para pendiri madrasah-madrasah itu mendapat banyak pelajaran dari akibat yang diterima Abdullah Ahmad karena caranya yang sangat drastis dalam mengubah pendidikan Islam.[15]

D. Pemikiran Pendidikan Abdullah Ahmad (Pendiri Adabiyah School)

Selain sebagai juru dakwah, Abdullah Ahmad juga seorang pendidik pada masanya. Ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan yang pada masanya membuat ia termotivasi untuk mendirikan madrasah. Dan akhirnya gagasan-gagasan ini beliau terapkan di madrasah Adabiyah tersebut.

Gagasan beliau adalah:

à Tentang pemerataan pendidikan.[16]

Abdullah Ahmad hidup pada masa pemerintahan Belanda yang sangat diskriminatif terhadap pendidikan masyarakat bumiputra tingkat bawah. Terlihat dari di baginya tiga strata sekolah oleh Belanda, yaitu Strata atas untuk kalangan Belanda, strata menengah untuk masyarakat bumiputra yang memiliki kemampuan ekonomi dan bagi anak-anak bumiputra lain hanya diberi pendidkan strata rendah, yaitu Sekolah Desa selama tiga tahun. Dari kenyataan ini beliau tergerak untuk mendirikan madrasah (sekolah agama yang sistem pengajarannya hampir sama dengan HIS milik Belanda) yang dapat dinikmati oleh semua orang. Baik rakyat miskin maupun menengah.

à Tentang kurikulum.[17]

Sebagaimana dicatat dalam sejarah bahwa Sekolah Adabiyah diubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915. Menurut Mahmud Yunus itulah HIS yang pertama yang memasukkan pelajaran agama dalam rencanan pengajarannya. Disana selain di ajarkan mata pelajaran agama, juga di ajarkan mata pelajaran umum.

Gagasan beliau sangat menunjukkan bahwa memang harus ada integrasi dalam pendidkan. Karena tujuan pendidikan Islam bukan hanya menjadikan anak pandai dalam tsaqofah islamnya saja, malinkan juga harus menguasai ilmu pengetahuan umum dan tekhnologi,. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, harus ada sekolah yang menyatukan dua bidang pelajaran tadi.

à Tentang dana pendidikan.[18]

Dengan adanya perubahan tersebut diatas, Adabiyah School mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, yaitu berupa tenaga guru. Hal tersebut diatas memperlihatkan bahwa Abdullah Ahmad berhasil menghilangkan kecurigaan pemerintah Belanda terhadap umat Islam.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pada masa sebelum kemerdekaan pendidikan serta pengajaran agama Islam telah diselenggarakan di berbagai tempat seperti di rumah-rumah, surau, madrasah, masjid, meunasah dan pesantren. Kemudian hal tersebut mengalami perubahan dari segi kelembagaan, kurikulum, system, metode maupun struktur organisasinya, hingga terbentuklah madrasah.

Pada dasarnya madrasah terbentuk di Indonesia dikarenakan adanya gerakan pembaruan dan respon terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda, dimana Pemerintahan Hindia Belanda telah menetapkan kebijakan pendidikan dengan system yang modern. Hal ini sangat mengkhawatirkan para intelektual muslim karena pendidikan yang dikelola Hindia Belanda berhubungan dengan misi menyebarkan agama Kristen. Para Intelektual muslim pun merespon tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam agar masyarakat tidak terpengaruh terhadap ajaran baru yang dibawa Belanda itu.

Kita telah mengetahui bahwa sebelumnya pendidkan Islam di Indonesia diselenggarakan di tempat-tempat yang tidak berkelas-kelas dan juga tidak menggunakan sarana kelas seperti kursi, meja, papan tulis dan sebagainya, hanya duduk bersela-sela saja.

Kemudian hal tersebut berubah. Pendidikan Islam yang mula-mula menggunakan sistem kelas adalah sekolah Adabiyah (Adabiyah School) di Padang Panjang. Sekolah Adabiyah didirikan Syaikh Abdullah Ahmad pada tahun 1907. Keberlangsungan sekolah Adabiyah tidak lama, karena terus menerus mendapat reaksi keras dari masyarakat yang masih berpola pikir tradisional. Dalam hal ini terlihat bahwa sekolah Adabiyah telah memodernisasikan sistem pendidikan Pendidikan Islam di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Ciputat: Logos.

Daulay, Haidar Putra. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Maksum. 1999. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Ciputat: Logos.

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada.



[1] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007) hal. 42.

[2] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007) hal. 43

[3] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007) Hal. 44.

[4]Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. 2007. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007) hal: 44.

[5] Dr.H. Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. (Ciputat: Logos, 1999)hal, 99.

[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia.. (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005), hal, 13.

[7] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia.. (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005). hal. 13.

[8]Dr.H. Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya.. (Ciputat: Logos, 1999) hal 100.

[9] Dr.H. Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya.. (Ciputat: Logos, 1999)hal, 100.

[10]Dr.H. Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya.. (Ciputat: Logos,1999) , hal.101.

[11] Hanun Asrohah, M.Ag. Sejarah Pendidikan Islam.. (Ciputat: Logos, 1999) hal, 156.

[12] Dr.H. Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya.. (Ciputat: Logos,1999) hal 101.

[13] Dr.H. Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya.. (Ciputat: Logos, 1999)hal, 102.

[14] Dr.H. Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya.. (Ciputat: Logos, 1999)hal. 102.

[15] Dr.H. Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya.. (Ciputat: Logos, 1999)hal, 102.

[16] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia. 2005. (Jakarta: PT. Grafindo Persada), hal, 15.

[17]Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia. 2005. (Jakarta: PT. Grafindo Persada), hal 19.

[18] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia. 2005. (Jakarta: PT. Grafindo Persada). hal, 20.



[1] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia. 2005. (Jakarta: PT. Grafindo Persada). Hal 10.

[2] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. 2007. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup) Hal. 39

[3] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007) hal. 42.

Tidak ada komentar: