BAB I
PENDAHULUAN
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits) Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepkatan hal itu disebut ijma, kemudian dianggaplah ijma’ mereka atas suatu hukum mengenai hal itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah hukum syariat Islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah SAW, karena sewaktu beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat Islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat hukum Islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak akan terwujud keculi dari beberapa orang.
BAB II
AL-IJMA’ DAN PROBLEMATIKANYA
A. Pengertian Al-Ijma’
Secara etimalogi, ijma’ terbagi kepada dua pegertian,[1] yaitu :
1. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan :
جمع القوم على كذالك اذا التفقوا عليه
Artinya :
“Suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka telah sepakat begini.”
Pengertian tersebut juga dapat ditemukan didalam
Artinya :
$£Jn=sù (#qç7ydsŒ ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs† ’Îû ÏMt6»uŠxî Éb=ègø:$# 4
“ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka memasukkan dia)…” (QS. Yusuf : 15)
2. Ijma berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{�øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur ÇÐÊÈ
Artinya:
“ Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Pengertian tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW ;
لا صيام لمن لم يجمع الصيام من الليل(روه ابو داود)
Artinya :
“ Tidak sah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada malam harinya.” (HR. Abu Dawud)
Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya[2] :
a. Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b. Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf, ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW. atas hukum syar’I mengenai suatu kejadian atau kasus. Prof. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwasanya ijma’ itu adalah kesepakatan para mujtahid dalam dalam suatu masa setelah wafatnya Rosulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly).
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW. yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rosulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rosulullah ijma tidak diperlukan, sebab keberadaan Rosulullah SAW. sebagai syar’I (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’.[3]
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Syarat dan Rukun Ijma’
Berdasarkan definisi ijma’ diatas dapat diketahui bahwa ijma’ itu dapat terjadi bila telah memenuhi empat macam kriteria di bawah ini[4] :
1. Adanya sebilangan para mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan yang lainnya.
2. Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaannya atau kelompoknya.
3. Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat masing-masing mereka mengenai suatu kejadian dengan jelas, baik berbentuk ucapan (qauli), misalnya dengan memberikan fatwa mengenai suatu kejadian, atau berbentuk perbuatan (Fi’li) misalnya suatu keputusan mengenai suatu hal atau kejadian. Atau penampilan pendapat menjatuhkan itu secara menyendiri, dan ketika telah dikumpulkan beberapa pendapat tampak jelas kesepakatannya.
4. Dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum. Seandainya pada sebagian mereka telah terjadi kesepakatan, maka tidaklah terjadi ijma’ atas dasar kesepakatan sebagian besar. Ketika jumlah penentang itu sedikit dan jumlah yang mufakat itu banyak berarti masih terdapat pula kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah (keliru) bagi pihak lainnya. Jadi, kesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar’iyyah secara pasti dan apalagi dikukuhkan.
1. Yang bersepakat adalah para Mujtahid. Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbaht hukum dari hukum-hukum syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang disebut dengan mujtahid ialah orang yang faqih.
Pendapat-pendapat tersebut sebenarnya memiliki kesamaan, yakni bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Jika dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, maka tidak bisa dikatakan ijma’. Mekipun ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tetap tidak dikatakan ijma’, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya sendiri.
2.
3. Dilakukan setelah wafatnya Nabi. Hal itu karena ketika Nabi masih hidup, Nabi-lah yang menjadi sumber hukum dari setiap permasalah yang terjadi.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut :
a. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatanya.
d. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadits Rosulullah SAW.
B. Macam-macam Al-Ijma’
Macam-macam ijma’ jika dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :
1. Ijma’ Sharih
Yaitu semua mejtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya. Ijma’ sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi.
2. Ijma’ Sukuti
Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa kriteria berikut :
a. Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.
b. Keadaan diamnya para mujtahid itu cuku lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.
c. Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzanni. Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil qath’I, jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.[5]
Mengenai ijma’ sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat, yaitu sebagai berikut :
1. Imam Syafi’I dan mayoritas fuqaha mengemukakan : tidak memasukkan ijma’ sukuti ini kedalam kategori ijma’.
Mereka beralasan bahwa orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang berpendapat. Oleh karena itu, jika diam dipandang sebagai ijma’, berarti diam itu dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan kepada serorang mujtahid yang belum tentu menerima pendapat tersebut.
Selain itu diam juga tidak dianggap sebagai setuju, karena dimungkinkan banyak faktor yang membuatnya diam. Misalkan diamnya mujtahid itu mungkin dia setuju, mungkin di belum berijtihad dalam masalah tersebut, atau mungkin ia telah berijtihad tapi belum mendapatkan hasil yang mantap dan banyak juga kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.
Dengan demikian, diam tidak dapat dipandang sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.
2. Sebagian fuqaha yang lain berpendapat : memasukkan ijma’sukuti dalam kategori ijma’. Hanya saja kekuatanya dibawah ijma’ sharih.
Sebagian fuqaha itu beralasan bahwa pada dasarnya diam tidak dapat dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung atau berfikir. Selain itu, pada umumnya tidak semua pemberi fatwa (mufti) memberikan keterangan pada suatu masalah. Tetapi yang umum pada setiap masa (generasi) adalah para mufti besar memberikan fatwa, sedang ulama yang lain menerimanya.
3. Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) akan tetapi tidak termasuk dalam kategori ijma’. Ulama yang berpendapat demikian, mereka beralasan bahwa meskipun ijma’ sukuti tidak memenuhi kriteria ijma’, tidak setiap orang alim mengemukakan pendapatnya, akan tetapi dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seorang ulama lebih kuat menunjukkan arti setuju, dibanding sikap menentang.
Jika ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada :
1. Ijma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I atau diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum adalah peristiwa atau kejadian yang telah ditetakan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
2. Ijma’ dzanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah dhanni. Masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Selain macam-macam ijma’ diatas, dalam kitab-kitab ushul fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang melaksanakannya.[6] Ijma’-ijma’ itu adalah :
a. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
b. Ijma’ khulafaur rasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu hidup.
c. Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.
d. Ijma’ ahli madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah. Madzhab Maliki menjadikan ijma’ ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam.
e. Ijma’ ulama kuffah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Ijma’ tidak dipandang sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah ttidak sah. Sandaran ijma’ yang berupa dalil Al-Quran seperti firman Allah SWT. Surat An-Nisa ayat 23 :
ôMtBÌh�ãm öNà6ø‹n=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êö‘r& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ�9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/u‘ur ÓÉL»©9$# ’Îû Nà2Í‘qàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6ø‹n=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ‹©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ô‰s% y#n=y™ 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Y‘qàÿxî $VJŠÏm§‘ ÇËÌÈ
Artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
C. Kedudukan dan Status Al-Ijma’ dalam Ajaran Islam
Ijma’ bisa dijadikan hujjah atau alasan dalam menetapkan hukum kalau yang menjadi dasar adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT. Dalam QS. An-Nisa ayat 59 :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§�9$# ’Í<'ré&ur Í�öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šã�sù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§�9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur Ì�ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎ö�yz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya :
“ Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)….” (QS. An-Nisa : 59)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai hujjah ijma’ ialah nilai dhanni bukan qath’i. Karena nilai hujjah ijma’ adalah dhanni, menurut pandangan kebanyakan ulama, maka ijma’ itu dapat dijadikan hujjah atau dipegangi dalam urusan amal, tidak dalam urusan I’tikad. Mengingat dalam urusan I’tikad haruslah ditetapkan oleh dalil yang bernulai qath’i.
Menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah, jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah (argumentasi), berdasarkan dua dalil berikut :
1. Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik. Oleh karena itu amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi (hujjah).
2. Firman Allah dalam
`tBur È,Ï%$t±ç„ tAqß™§�9$# .`ÏB ω÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3“y‰ßgø9$# ôìÎ6Ftƒur uŽö�xî È@‹Î6y™ tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4’¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$y™ur #·Ž�ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
Artinya :
“ Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya , dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin. Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia kedalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa : 115)
D. Cara Penggunaannya
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa berasal dari dalil yang qath’I, yaitu Al-Quran, Sunnah Mutawatir serta bisa juga berdasarkan dalil dhanni, seperti hadits ahad. Sedangkan ulama dzahiriyyah, syi’ah, dan ibnu Jarir Al-Thabari mengatakan bahwa landasan ijma’ itu harus dalil yang qath’i. Menurut mereka, ijma’ itu dalil yang qath’I. Suatu dalil yang qath’I, tidak mungkin didasarkan kepada dalil dzanni. Disamping itu, seorang mujtahid boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas.
Demikian juga kesepakatan ulama tentang larangan orang yang ada hubungan kekerabatan dan suami istri menjadi saksi dalam kasus istri atau suaminya, atau sebaliknya. Landasan kesepakatan ulama ini adalah maslahah mursalah.
Zakiyuddin Sya’ban, ahli ushul fiqh Mesir, mengatakan bahwa ijma yang didasarkan kepada maslahah mursalah tidak brsifat tetap dan abadi, tetapi bisa berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan itu sendiri. Karenanya jika terjadi perubahan kemaslahatan, maka ijma’ tersebut boleh dilanggar dan ditentukan hukum lain yang lebih mendatangkan kemaslahatan.
Dengan demikian setiap ijma; yang dapat dijadikan sumber fiqih adalah ijma’ yang mempunyai sandaran qath’I seperti ayat Al-Qur’an atau Sunnah yang mutawatir. Maka kalau sandarannya itu dzanni seperti hadits ahad atau qiyas masih dianggap sebagai ijma’, para fuqaha berbeda pendapat. Jumhurul fuqaha memberikan contohnya seperti ijma’ tentang haram memakan lemak babi yang diqiaskan dengan daging babi,dan wajib membuang minyak lampu yang didalamnya terdapat bangkai tikus.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh.
Syafe’I, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh.
Umam, Chaerul dkk. 1998.
Umar, Muin dkk. 1985.
Zahrah, Muhammad Abu. 2008. Ushul Fiqh.
[1] Drs. Chaerul Umam,dkk.
[2]
[3] Drs. Chaerul Umam,dkk.
[4] Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh. (
[5]
[6] Drs. Muin Umar, dkk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar